Pages

Sabtu, 24 Maret 2018

Contoh dan Peranan Mikroorganisme Akuatik

Peran Mikroorganisme Dalam Lingkungan Akuatik

Peran mikroorganisme sangat penting dalam siklus kehidupan air. Kontribusi mikroorganisme ini mampu menguraikan bahan-bahan organik dan mempercepat kemungkinan kembalinya unsur-unsur anorganik penting ke dalam siklus zat organik baru. Kehadiran mikroba di dalam air, mungkin akan mendatangkan keuntungan tetapi juga mungkin mendatangkan kerugian.
1.           Mikroorganisme yang menguntungkan
a.        Plankton: baik yang terdiri dari plankton-tumbuhan (fitoplankton) ataupun plankton-hewan (zooplankton), merupakan makanan utama ikan-ikan kecil. Sehingga kehadirannya merupakan tanda kesuburan kolam ikan misalnya, untuk perikanan. Ini misalnya untuk jenis-jenis microalgae yaitu Chlorella, Scenedesmus, Hydrodiction, Pinnularia, Sinedra, dan sebagainya.
b.        Bakteri atau fungi di dalam badan air berlaku sebagai jasad decomposer. Artinya jasad tersebut mempunyai kemampuan untuk mengurai atau merombak senyawa yang berada (masuk) ke dalam badan air. Sehingga kehadirannya telah dimanfaatkan di dalam rangka pengolahan buangan di dalam air secara biologis. Contoh fungi yaitu jamur Pilobolus crystallinus, Auricularia auricularis sedangkan contoh bakteri yaitu Pseudomonas.
c.     Mikroalga yang mempunyai klorofil: dapat melakukan proses fotosintesis dengan menghasilkan oksigen. Di dalam air, kegiatan fotosintesis tersubut akan menambah jumlah (kadar) oksigen di dalamnya, sehingga nilai kelarutan oksigen (umumnya disebut DO atau dissolved oxygen) akan naik atau bertambah, contohnya: Stephanodiscus alpinus, Euglena viridis, Spirulina maxima.
d.        Kehadiran hasil uraian senyawa hasil rombakan bakteri atau fungi, ternyata digunakan atau dimanfaatkan oleh jasad-jasad lain, antara lain oleh microalgae, oleh bakteri atau fungi sendiri. Sehingga dalam masalah ini jasad-jasad pengguna tersebut dinamakan consumer atau jasad pemakai. Tanpa adanya jasad pemakai, kemungkinan besar penimbunan (akumulasi) hasil uraian tersebut dapat mengakibatkan keracunan terhdap jasad lain, khususnya ikan.
e.        Penggunaan Bakteri dalam Menguraikan Detergen. Alkil benzil sulfonat (ABS) adalah komponen detergen, yang merupakan zat aktif yang dapat menurunkan tegangan muka sehingga dapat digunkan sebagai pembersih. ABS mempunyai Na-sulfonat polar dan ujung alkil non-polar. Pada proses pencucian, ujung polar ini menghadap ke kotoran (lemak) dan ujung polarnya menghadap ke luar (ke-air). Bagian alkil dari ABS ada yang linier dan non-linier (bercabang). Bagian yang bercabang ABS-nya lebih kuat dan berbusa, tetapi lebih sukar terurai sehingga menyebabkan badan air berbuih. Sulitnya peruraian ini disebabkan karena atom C tersier memblokir beta-oksidasi pada alkil. Hal ini dapat dihindari apabila ABS mempunyai alkil yang linier. Namun ada beberapa bakteri yang dapat menguraikan ABS meskipun memakan waktu yang cukup lama. Bakteri pengurai deterjen antara lain Basilus subtilus, Vibrio coma, Pseudomonas aeruginosa, dan Escherichia coli.
2.             2.     Mikroorganisme yang merugikan
a.             Salmonella penyebab penyakit tifus adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, tidak membentuk spora namun bersifat patogen, baik pada manusia ataupun hewan. Dapat menyebabkan demam typhoid (typoid fever). Sebenarnya penyakit demam typoid dapat dipindahkan dengan perantara makanan yang terkontaminasi dan dengan kontak langsung dengan si penderita. Namun yang paling umum sebagai fakta penyebab adalah air. Air dapat terkontaminasi oleh bakteri ini karena kesalahan metode pemurnian air atau kontaminasi silang (Cros contaminant) antara pipa air dengan saluran air limbah (Tarigan, 1988).
b.     Clostridium prefringens adalah bakteri gram positif pembentuk spora yang sering ditemukan dalam usus manusia, tetapi kadang-kadang juga ditemukan di luar usus manusia (tanah, debu, lingkungan dan sebagainya).
c.        Escherichia coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang yang tidak membentuk spora dan merupakan flora normal di dalam usus. E.coli termasuk bakteri komensal yang umumnya bukan patogen penyebab penyakit namun bilamana jummlahnya melampaui normal maka dapat pula menyebabkan penyakit. E. coli merupakan salah satu bakteri coliform.
d.      Leptospira merupakan bakteri berbentuk spiral dan lentur yang merupakan penyebab penyakit leptosporosis. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis atau penyakit hewan yang bisa berpindah ke manusia. Pada umumnya penyebaran bakteri ini adalah pada saat banjir.
e.         Shigella dysentriae adalah basil gram negatif, tidak bergerak. Bakteri ini menyebabkan penyakit disentri (mejan). Spesies lain seperti S. sonnei dan S. paradysentriae juga menyebabkan penyakit disentri (Dwijoseputro, 1976).
f.        Vibrio comma adalah bakteri yang berbentuk agak melengkung, gram negatif dan monotrik. Bakteri ini menyebabkan penyakit kolera yang endemis di indonesia dan sewaktu-waktu berjangkit serta memakan banyak korban (Dwijoseputro, 1976).
g.             Ascaris penyebab penyakit cacing, dan banyak contoh-contoh lainnya. Juga didalam air banyak ditemukan mikroba penghasil toksin (racun) yang sangat berbahaya, seperti:
-              Hidup secara anaerobic contohnya Clostridium
-            Hidup secara aerobic contohnya Pseudomonas, Salmonella, Staphylococcus, dan     sebagainya.
-         Toksin juga dihasilkan oleh beberapa jenis microalgae contohnya Anabaena dan Microcystis
h.           Kelompok bakteri besi (contoh, Crenothrix dan Sphaerotilus) yang mampu mengoksidasi senyawa besi (II) menjadi besi (III). Akibat kehadiran mikroorganisme tersebut, air sering mengalami perubahan warna kalau disimpan lama yaitu berwarna kehitam-hitaman, kecoklat-coklatan, dan lain-lain. Proses oksidasi Crenothrix / Sphaerotilus.
i.       Kelompok bakteri belerang (contoh, Chromatium dan Thiobacillus) yang mampu mereduksi senyawa sulfat menjadi H2S. Akibatnya kalau air disimpan lama akan tercium bau busuk. Contohnya Thiobacillus/Chromatium.
j.          Kelompok mikroalga (misalnya yang termasuk kelompok mikroalga hijaubiru, biru, dan kersik), sehingga jika air disimpan lama di dalamnya akan nampak kelompok mikroorganisme yang berwarna hijau, biru atau kekuningkuningan, tergantung dominasi mikroalga yang terdapat dalam air serta lingkungan yang mempengaruhinya. Suatu proses yang sering terjadi di danau atau kolam seluruh permukaan airnya ditumbuhi oleh pertumbuhan massa alga yang sangat banyak (blooming). Blooming menyebabkan perairan berwarna, ada endapan, dan bau amis, disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan mikroalga (Anabaena flos-aquae dan Microcystis aerugynosa). Dalam keadaan blooming sering terjadi:
-             Ikan mati disebabkan jenis-jenis mikroalga yang terdapat di dalam air menghasilkan toksin yang dapat meracuni ikan.
-         Korosi/pengkaratan terhadap logam karena di dalam massa mikroalga didapatkan pula bakteri besi atau belerang penghasil asam yang korosif.
-          Kekurangan oksigen karena mikroalga yang menutupi permukaan kolam sehingga menyebabkan ikan mati.
Lebih jauh lagi akibat kehadiran kelompok bakteri dan mikroalga dalam air, dapat mendatangkan kerugian. Kehadiran kelompok bakteri dan mikroalga tersebut di dalam air, dapat menyebabkan terjadinya penurunan turbiditas dan hambatan aliran, karena kelompok bakteri besi dan belerang dapat membentuk serat atau lendir. Akibat lainnya adalah terjadinya proses korosi (pengkaratan) terhadap benda-benda logam yang berada di dalamnya, menjadi bau, berubah warna, dan sebagainya.

Peranan Mikroorganisme Dalam Siklus Unsur Di Lingkungan Akuatik
1.             Siklus Nitrogen
Nitrogen merupakan “limiting factor“ yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2,  NO2-, NO3-, NH3 dan NH4+ serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Haryadi, 2003). Akumulasi kandungan nitrogen dalam air dapat menjadi sumber penurunan kualitas air. Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik.
Keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4+) dan molekul N2 yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air. Ikatan nitrogen dalam air sangat mudah berubah bentuknya.  Menurut Effendi (2003) nitrogen organik berupa asam amino, protein, dan urea, bentuk-bentuk tersebut mengalami transformasi sebagai bagian dari siklus nitrogen. Senyawa nitrogen organik dapat ditransformasi menjadi nitrogen, amonium dan dioksida menjadi nitrogen nitrat dan nitrit dalam sistem biologis. Transformasi nitrogen secara mikrobiologi mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.          Asimilasi nitrogen anorganik (nitrat dan ammonium) oleh tumbuhan dan mikroorganisme (bakteri autorof) untuk membentuk nitrogen organik misalnya asam amino dan protein.
b.          Fiksasi gas nitrogen menjadi ammonia dan nitrogen organik oleh mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis alga Cyanophyta (alga biru) dan bakteri.
N2 + 3 H2 2NH3 (ammonia); atau NH4+ (ion ammonium).
c.         Nitrifikasi yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat dapat dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan berkurang secara nyata pada pH < 7. 
NH4+ + 3/2 O2             Nitrosomonas              2 H+ + NO2- + H2O
NO2- + ½ O2    Nitrobacter                  NO3-
Hasil oksidasi ini sangat reaktif dan mudah sekali larut, sehingga dapat langsung digunakan dalam proses biologis.
d.         Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan ammonia selama proses dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan jamur yang membutuhkan oksigen untuk mengubah senyawa organik menjadi karbondioksida. Selain itu, autolisasi atau pecahnya sel dan ekskresi ammonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok ammonia.
e.      Denitrifikasi yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit (NO2-), dinitrogen oksida (N2O) dan molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimal 28oC pada kondisi anaerob (tak ada oksigen). Dinitrogen oksida (N2O) adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang atau lambat pada kondisi pH dan suhu rendah, tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya. Kondisi anaerob di sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg /liter per hari. Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan alga secara tak terkendali (blooming). Konsentrasi nitrogen organik di perairan berkisar 0,1 sampai 5 mg/l, sedangkan di perairan tercemar berat kadar nitrogen bisa mencapai 100 mg/l. Konsentrasi nitrit yang tinggi dapat menyebabkan perairan menjadi tercemar Schmit (1978).
2.             Siklus Karbon
Pada ekosistem air, pertukaran CO2 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung. Karbon dioksida berikatan dengan air membentuk asam  karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Bikarbonat adalah sumber karbon bagi alga yang memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof lain. Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, CO2 yang mereka keluarkan menjadi bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang dengan jumlah CO2 di air.
Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik. Dalam siklus karbon terjadi proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler. Tumbuhan mendapatkan karbon, dalam bentuk CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis yang dapat menghasilkan O2 yang nantinya akan digunakan oleh tumbuhan dan hewan untuk berespirasi. Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar yang juga menambah kadar CO2 di udara. Sejumlah karbon bisa dipindahkan dari siklus tersebut dalam waktu yang lebih lama ketika karbon terakumulasi di dalam kayu dan bahan organik oleh detritivora akhirnya didaur ulang karbon ke atmosfer sebagai CO2. Hal ini dapat sebagai kembalinya CO2 ke atmosfer.
3.             Siklus Fosfor
Proses daur fosfor yang terjadi di perairan hampir sama dengan proses daur fosfor yang terjadi di daratan. Molekul fosfat yang terdapat di dalam air digunakan oleh fitoplankton, ganggang, dan tumbuhan air untuk metabolisme tubuhnya. Melalui rantai makanan fosfat masuk ke dalam tubuh hewan di perairan. Selanjutnya melalui proses dekomposisi organisme mati (zat organik) oleh bakteri dan fungi, fosfor kembali dilepaskan ke lingkungan perairan. Beberapa bakteri dan fungi mampu memecah senyawa-senyawa organik fosfor dan mampu melepaskan fosfat dari dan kembali dalam siklus materi. Beberapa bakteri yang dapat mendekomposisi Ca3(PO4)2 adalah genus Pseudomonas, Aeromonas, Escherichia, Bacillus dan Micrococcus.
Molekul fosfat yang terbawa oleh aliran air  tidak seluruhnya diserap oleh tumbuhan. Sebagian terus terbawa menuju lautan dan mengendap di dasar laut. Endapan tersebut lama kelamaan semakin banyak dan oleh proses geologis selama bertahun-tahun membetuk batuan atau endapan yang mengandung fosfat.
Pembuangan air deterjen yang mengandung fosfat ke dalam perairan dapat menyebabkan pertumbuhan ganggang yang berlebihan. Ganggang yang jumlahnya tidak terkendali menyebabkan oksigen di air berkurang, selanjutnya akan menyebabkan ikan-ikan di perairan mati. Peristiwa tersebut dinamakan eutrofikasi.
4.             Siklus Besi dan Mangan
Bakteri besi umumnya terdapat pada perairan air tawar dan sering terdapat pada sumur-sumur dan sumber-sumber air. Kadang-kadang bakteri tersebut dalam jumlah besar terdapat pada air mengalir dan empang. Bakteri-bakteri tersebut sering menimbulkan kerusakan pada pipa-pipa besi.
Bakteri Thiobacillus (Ferrobacillus) ferrooxydans dapat mengoksidasi senyawa ferro menjadi ferri pada reaksi asam.
Fe2+     Fe3+ + 1,5 kcal
Bakteri besi yang tersebar luas adalah Leptothrix ochracea dan Crenothrix polyspora. Mikroorganisme juga mampu membentuk logam organik dan kompleks mangan (chelat). Berbagai fungi dapat mensintesis senyawa kompleks yang berbeda. Senyawa logam organik dan kompleksnya dapat dipecah lagi oleh mikroorganisme. Dekomposisi ini memainkan peran dalam siklus besi dan mangan.

Minggu, 18 Maret 2018

Eutrofikasi


Eutrofikasi
Image result for proses, penyebab, dan dampak eutrofikasi

1. Pengertian Eutrofikasi

Tanpa disadari, badan-badan air di perairan umum disekitar kita terutama yang relatif tergenang seperti situ, danau dan waduk bahkan pantai tertutup sedikit demi sedikit berubah warna menjadi kehijauhijauan. Para pakar ekologi perairan sepakat bahwa fenomena tersebut disebabkan oleh peningkatan kepadatan fitoplankton yang diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi nutrien/hara terlarut dalam badan air, yang dapat berasal dalam dan luar ekosistem (Garno, 2012).

Eutrofikasi adalah masalah lingkungan hidup yang mengakibatkan kerusakan ekosistem perairan khususnya di air tawar. Hal tersebut disebabkan oleh limbah fosfat  (PO3), yaitu limbah yang dihasilkan oleh limbah rumah tangga seperti detergen. Selain itu limbah tersebut juga dapat dihasilkan dari limbah peternakan, limbah industri, dan berasal dari pertanian. (Syahrul et al, 2016). 

Sementara itu, Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mendefinisikan eutrofikasi sebagai “peningkatan kekayaan unsur hara pada air yang menyebabkan rangsangan suatu susunan perubahan simptomatik yang meningkatkan produksi ganggang dan makrofit, menurunnya kualitas perikanan, menurunnya kualitas air serta perubahan simptomatik lainnya yang tidak dikehendaki serta mengganggu penggunaan sumberdaya perairan.” (Connell dan Miller, 1995).

Menurut Tarigan (1999), Eutrofikasi merupakan suatu fenomena pengayaan ekosistem akuatik dengan unsur hara, terutama nitrogen dan fosfor, mengakibatkan meningkatnya produktivitas primer. Proses pengayaan unsur hara dan peningkatan produktivitas primer ini merupakan dua proses yang berbeda, teteapi biasanya merupakan prasyarat bagi proses peningkatan produktivitas primer. Namun demikian, tidak berarti bahwa pengayaan unsur hara pasti mengakibatkan meningkatnya produktivitas primer secara dramatis hingga menimbulkan problema eutrofikasi. Hal ini tampaknya berkaitan dengan intensitas masukan unsur hara dan proses internal yang terjadi dalam ekosistem danau atau waduk.

2. Faktor Penyebab Eutrofikasi

2.1. Eutrofikasi Secara Alamiah

Dalam proses eutrofikasi alamiah, detritus tanaman, garam-garaman, pasir, dan sebagainya mengalir dari suatu daerah dan terakumulasi pada kolom perairan selama beberapa waktu geologis. Hal tersebut menyebabkan pengingkatan kekayaan unsur hara, sedimentasi, serta peningkatan biomassa. Umumnya, proses ini terjadi di perairan yang menggenang (memiliki aliran air sedikit) seperti danau, bendungan, laut tertutup, dan sebagainya. Namun, proses secara alamiah terjadi dalam jangka waktu yang lama (Connell dan Miller, 1995). Menurut Garno (2012), proses eutrofikasi secara alamiah juga berasal dari dalam ekosistem, peningkatan nutrient berasal dari dekomposisi organik (detritus & kotoran/ekskresi) dan regenerasi nutrient oleh zooplankton.

2.2. Eutrofikasi Kultural

Kegiatan manusia sangat mempengaruhi peningkatan kekayaan unsur hara dan eutrofikasi. Pada kenyataannya, dalam waktu 100 tahun terakhir banyak danau yang mengalami peningkatan kekayaan unsur secara signifikan yang disebabkan oleh pencemaran. Buangan seperti limbah rumah tangga, aliran dari bak penampungan kotoran, beberapa limbah industri, aliran dari perkotaan, aliran dari pertanian dan pengelolaan hutan, serta limbah hewan yang mengandung unsur hara tanaman seringkali memuebabkan peningkatan kekayaan unsur hara pada perairan dan mempercepat eutrofikasi (Connell dan Miller, 1995).

Nitrat dan fosfat adalah dua nutrient penting yang telah mengalami peningkatan pada perairan sejak pertengahan tahun 1960-an. Sumber dari kontaminasi nitrat itu sendiri berasal dari pupuk,  dan limbah pertambangan (leachate). Kandungan nitrat pada pupuk nitrat mengalir ke perairan melalui tanah dan 40% nitrat yang ada di perairan masuk ke lingkungan tersebut melalui cara yang telah dijelaskan di atas. Sementara itu, kandungan nitrat pada pupuk fosfat yang ada di perairan cederung lebih sedikit yaitu 20% sampai 25 %. Hal tersebut disebabkan karena partikel fosfat cenderung lebih mudah terserap ke dalam tanah. Sumber fosfat yang lain berasal dari detergen, sumber tersebut sudah menjadi perhatian di media internasional dalam beberapa tahun terakhir (Hodgson dan Levi, 2000).

Fosfor bersama dengan nitrogen sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air, seperti di ketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainya membutuhkan nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi yang utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi alga secara massal yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air (Simanjuntak, 2011).

3. Proses Eutrofikasi

Eutrofikasi merupakan proses alamiah dan dapat terjadi pada berbagai perairan, tetapi bila terjadi kontaminasi bahan-bahan nitrat dan fosfat akibat aktivitas manusia dan berlangsung terus menerus, maka proses eutrofikasi akan lebih meningkat. Kejadian eutrofikasi seperti ini merupakan masalah yang terbanyak ditemukan dalam danau dan waduk, terutama bila danau atau waduk tersebut berdekatan dengan daerah urban atau daerah pertanian.

Dilihat dari bahan pencemarannya eutrofikasi tergolong pencemaran kimiawi. Eutrofikasi adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan kedalam ekosistem perairan. Eutrofikasi terjadi karena adanya kandungan bahan kimia yaitu fosfat (PO3-). Suatu perairan disebut eutrofikasi jika konsentrasi total fosfat ke dalam air berada pada kisaran 35-100µg/L. Eutrofikasi banyak terjadi di perairan darat (danau, sungai, waduk, dll). Sebenarnya proses terjadinya Eutrofikasi membutuhkan waktu yang sangat lama (ribuan tahun), namun akibat perkembangan ilmu teknologi yang menyokong medernisasi dan tidak diiringi dengan kearifan lingkungan maka hanya dalam hitungan puluhan atau beberapa tahun saja sudah dapat terjadi Eutrofikasi. (Forsberg, 1998).

4. Dampak Eutrofikasi

N dan P menguntungkan bagi pertumbuhan fitoplankton yang merupakan makanan ikan sehingga dapat meningkatkan produksi ikan di waduk. Namun ketika konsentrasi unsur-unsur tersebut tinggi, terj adi pertumbuhan fitoplankton yang berlebih (blooming) atau eutrofikasi dan bisa terjadi pencemaran air waduk. Apabila sudah parah, kualitas air akan menurun, air berubah menjadi keruh, oksigen terlarut rendah, tirnbul gas-gas beracun dan bahan beracun (Rustadi, 2009).

Dalam jumlah yang sangat banyak, perkembangan alga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air. Apabila sel-sel yang mati mengendap ke dasar dan vegetasi tumbuhan membusuk, ianya dapat mengakibatkan pengurangan kadar oksigen di dasar perairan. Di samping itu, eutrofikasi juga dapat menyebabkan perubahan pH yang signifikan, pengurangan kadar oksigen terlarut terutama pada malam hari, blooming alga biru-hijau, pengurangan jumlah spesies makrofit dan perubahan warna air menjadi hijau atau kecoklatan (Othman dan Lim, 2006).

Efek dari eutrofikasi moderat pada perairan yang miskin nutrien tidak bersifat negatif. Peningkatan pertumbuhan alga dan berbagai vegetasi dapat menguntungkan bagi kehidupan fauna akuatik. Salah satu contoh adalah produksi ikan meningkat. Jika eutrofikasi terus berlanjut, pertumbuhan plankton menjadi sangat lebat, sehingga menutupi perairan. Proses ini akan mengakibatkan gelap di bawah permukaan air, dan kondisi ini berbahaya bagi vegetasi bentik. Problem yang serius akibat eutrofikasi ditimbulkan oleh petumbuhan alga sel tunggal secara hebat, proses dekomposisi dari sel yang mati akan mengurangi oksigen terlarut. Tanaman akuatik (termasuk alga) akan mempengaruhi konsentrasi O2 dan pH perairan disekitarnya. Pertumbuhan alga yang pesat, akan menyebabkan fluktuasi pH dan oksigen terlarut menjadi besar pula. Hal ini akan menyebabkan terganggunya proses metabolik dalam organisme, yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.

Di perairan yang sangat kaya akan nutrien, produksi plankton dapat menjadi sangat berlebihan. Spesies plankton tertentu muncul secara berkala dalam kuantitas yang sangat besar, yang sering dikenal sebagai “algal bloom”. Beberapa alga tertentu dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak sedap di perairan, dan mengakibatkan konsekuensi yang sama jika perairan menerima material organik dari sumber-sumber pencemar, yaitu sejumlah besar oksigen dalam air terkonsumsi ketika sejumlah besar plankton yang mati berpindah ke dasar perairan dan terdegradasi. Defisiensi oksigen dapat mengurangi kehiupan bentik dan ikan. Jika perairan bentik menjadi de-oksigenasi, hidrogen sulfid (H2S) akan meracuni semua bentuk kehidupan di perairan. Akhirnya eutrofikasi berat dapat menimbulkan pengurangan sejumlah spesies tanaman dan hewan di perairan. (Forsberg, 1998).

Secara singkat dampak eutrofiaksi di perairan dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Rusaknya habitat untuk kehidupan berbagai spesies ikan dan invertebrata. Kerusakan habitat akan menyebabkan berkurangnya biodiversitas di habitat akuatik dan spesies lain dalam rantai makanan.

2. Konsentrasi oksigen terlarut turun sehingga beberapa spesies ikan dan kerang tidak toleran untuk hidup.

3. Rusaknya kualitas areal yang mempunyai nilai konservasi/ cagar alam margasatwa.

4. Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi masyarakat dan merusak industri perikanan. Pada masa kini hubungan antara pengkayaan nutrien dengan adanya insiden keracunan kerang di perairan pantai/laut meningkat

5. Produksi vegetasi meningkat sehingga penggunaan air untuk navigasi maupun rekreasi menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada pariwisata dan industri pariwisata.

5. Organisme yang Memiliki Keterkaitan dengan Eutrofikasi

5.1. Fitoplankton

Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopik yang hidup melayang-layang dalam air. Fitoplankton terdiri dari divisi chrysophyta (diatom), chlrorophyta dan cyanophyta. Pada umumnya chlorophyte dan cyanophyta mudah ditemukan pada komunitas plankton perairan tawar sedangkan chrysophyta dapat ditemukan diperairan tawar dan asin. Di perairan umum, komunitas fitoplankton umumnya didominasi oleh jenis fitoplankton yang berukuran lebih kecil dari 10 ?m. Keberadaan dan kelimpahan suatu jenis fitoplankton di perairan umum sangat ditentukan oleh sifat fisik dan kimia air, khususnya kandungan nutrien badan air tersebut. Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk pertumbuhannya. Untuk pertumbuhannya, meskipun sebagian besar hanya dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit (nutrien mikro) namun fitoplankton membutuhkan paling sedikit 19 macam nutrient. tertentu, peningkatan konsentrasi nutrient dalam badan air akan meningkatkan produktivitas perairan, karena nutrien yang larut dalam badan air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya sehingga populasi dan kelimpahannya meningkat. Peningkatan nutrien yang berkelanjutan dalam konsentrasi yang tinggi pada akhirnya akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur atau eutrofik dan menimbulkan gangguan (dampak negatif) bagi badan air tersebut yakni terjadinya (Garno, 2012).

5.2. Cyanobacteria

Cyanobacteria atau biasa disebut dengan alga biru-hijau merupakan salah satu organize tertua yang pernah hidup di bumi. Cyanobacteria memiliki persebaran yang luas , seperti di perairan tawar, air laut, ekosistem terrestrial (darat), bahkan di tempat yang ekstrim seperti di padang gurun, padang salju, tempat dengan salinitas tinggi, dan sumber air panas (Kulasooriya, 2011).

Umumnya, cyanobacteria merupakan organisme aerobic fotoautotrof. Hidup mereka selalu bergantung pada karbon dioksida, air, substansi anorganik, dan cahaya (Mur et al., 1999). Cyanobacteria ada yang hidup sebagai plankton dan ada pula yang hidup sebagai bentos. Spesies-spesies yang bersifat planktonik umumnya merupakan spesies-spesies yang mengakibatkan terjadinya ledakan populasi (blooming) akibat eutrofikasi (Prihantini et al. 2008).

6. Fenomena yang Terkait dengan Eutrofikasi

6.1. Red Tide

Red tide adalah kondisi dimana alga uniseluler mikroskopis mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dan terkumpul akibat unsur nutrient yang melimpah di perairan tersebut sehinga terlihat padat dan dapat terlihat di permukaan air. Sekitar 300 spesies dilaporkan dapat membentuk fenomena ini. Red tide biasanya terlihat spektakuler namun tidak berbahaya. Meskipun begitu, alga-alga yang terlibat dalam fenomena ini memproduksi neurotoksin yang berdampak pada jaring-jaring makanan. Dimana organisme yang mengonsumsi alga tersebut dapat mengalami kematian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jenis alga yang biasa ada dalam red tide adalah alga dari jenis Gymnodinium breve yang memiliki pigmen warna merah, dan kumpulan dari alga jenis tersebutlah yang merubah warna perairan menjadi merah. (Wardiatno et al., 2004).

Red Tide berdampak terhadap kematian berbagai jenis organisme seperti ikan budidaya dan shellfish (kerang-kerangan).  Kerang-kerangan yang dikonsumsi oleh manusia yang beracun juga dapat menyebabkan kematian bagi manusia itu sendiri. Kemudian, Red Tide juga berdampak pada kematian organisme lain seper ti mamalia laut, burung laut, dan hewan laut lainnya (Anderson, 1995). Ledakan populasi dari fitoplankton tersebut juga dapat menutupi perairan , sehingga selain menyebabkan deplesi oksigen juga dapat menyebabkan gangguan fungsi mekanik maupun kimiawi pada insang ikan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kematian massal pada ikan (Mulyani et al. 2012).

Contoh nyata dari red tide pernah sendiri di pantai barat Amerika Serikat, dimana alga jenis C. convolutus, dan C. concavivornis yang menyebabkan sejumlah kematian pada ikan finfish sejak 1961 (Horner et al., 1997).

6.2. Kematian Ikan Massal

Melimpahnya jumlah alga yang terdapat pada perairan dapat menyebabkan perairan massal pada ikan. Hal ini disebabkan karena alga yang sangat banyak menghalangi terlarutnya oksigen ke dalam air sehingga menyebabkan kondisi perairan menjadi hipoksia atau kekurangan oksigen (Leng, 2009). Contoh nyata dari kasus ini penah terjadi pada tahun 1988 di pantai utara New Jersey, lebih tepatnya di Raritan Bay of the Hudson. Diperkirakan sekitar satu juta ikan mengalami kematian. Hal tersebut terjadi karena deoksigenasi perairan yang disebabkan oleh blooming algae yang terjadi di tempat tersebut. Terjadinya eutrofikasi disebabkan oleh pembuangan limbah secara tidak terkontrol yang pada limbah tersebut terdapat kandungan fosfat (Lee et al. 2012).

7. Kasus Eutrofikasi di Indonesia

Danau Tondano merupakan salah satu sumber daya penting bagi masyarakat Sulawesi Utara, terutama masyarakat yang bermukim di Minahasa dan Kota Manado. Beberapa kebutuhan vital masyarakat seperti air minum, air irigasi, pembangkit listrik dan lain sebagainya dipenuhi melalui air dari danau Tondano. Sejak kurang lebih lima tahun terakhir ini muncul masalah yang disebabkan oleh peledakan tumbuhan akuatik, di samping masalah pendangkalan dan penyusutan air danau. Peledakan tumbuhan akuatik merupakan salah satu indikator bahwa telah terjadi pengayaan unsur hara atau eutrofikasi di Danau Tondano. Penebangan hutan, kegiatan pertanian serta pemukiman penduduk hingga ke tepi danau menyebabkan lahan menjadi terbuka. Partikel tanah dan sisa-sisa pupuk dengan mudah dibawa oleh air hujan masuk ke dalam danau. Selain itu kebiasaan penduduk yang menjadikan badan air sebagai tempat membuang sampah, juga makin mempercepat pengayaan unsur hara. Belakangan ini usaha pemeliharaan ikan di dana yang berbentuk jaring apung. Sisa-sisa pakan ikan menambah bahan organik dalam badan air dan semua itu. Sebagian besar tumbuhan akuatik di danau Tondano terdiri atas E. crassipes dan I. aquatic (Nebath, 2008).



DAFTAR PUSTAKA

Anderson, David M., 1995. Toxic Red Tides and Harmful Algal Blooms: A Practical Challenge in Coastal Oceanography. U.S National Report to International Union of Geodesy and Geophysics 1991-1994

Connell, Des W. dan Gregory J, Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: UI-Press.

Forsberg. 1998. Which Policies Can Stop Large Scale Eutrophication, Water Science and Technology, Vol 37, Issue 3

Hodgson, Ernest dan Patricia E, Levi. 2000. A Textbook of Modern Toxicology. New York: The McGraw-Hill Companies

Horner, Rita A., David L. Garrison, and Gerrald Plumey. 1997. Harmful Algal Blooms and Red Tide Problems in the U.S West Coast. Limnology and Oceanography Vol. 42, No. 5, July 1997, pp. 1076-1088

Garno, Yudhi Soetrisno. 2012. Dampak Eutrofikasi Terhadap Struktur Komunitas dan Evaluasi Metode Penentuan Kelimpahan Fitoplankton. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 13, No. 1. Januari 2012. Hlm. 67-74.

Kulasooriya, A.M. 2011. Cyanobacteria: Pioneers of Planet Earth. Ceylon Journal of Science (Bio. Sci.) Vol. 40, No. 2, 2011.

Lee, G. Fred dan Anne Jones. 2012. Effects of Eutrophication on Fisheries. Landfills and Water Quality Management.

Leng, Rachel. 2009. The Impacts of Cultural Eutrophication on Lakes: A Review of Damages and Nutrient Control Measures. Durham: Duke University

Mulyani, Riani Widiarti, dan Wisnu Wardhana. 2012. Sebaran Spesies Penyebab Harmful Algal Bloom di Lokasi Budidaya Kerang Hijau (Perna viridis) di Kamal Mutiara, Jakarta Utara. Jurnal Akuatika Vol. 3, No. 1/Maret. 2012).

Mur, Luuc R., Olav M, Skulberg, dan Hans Utkilen. 1999. Cyanobacteria in the Environment. World Health Organization

Nebath, J. 2008. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Jilid 11 Nomor 1 Hal. 67-71.

Othman, M. Shuhaimi dan E.C. Lim. 2006. Keadaan Eutrofikasi di Tasik Chini, Pahang. Sains Malaysiana Vol. 32, No. 2, 2006: 29-34.

Prihantini, Nining Betawati, Wisnu Wardhana, Dian Hendrayanti, Arya Widyawan, Yuni Ariyani dan Ronny Riyanto. 2008. Biodiverstias Cyanobacteria dari Beberapa Situ/Danau di Kawasan Jakarta –Depok—Bogor, Indonesia. Makara, Sains, Volume 12, No. 4, April 2008:44-54

Simanjuntak, F. Kastro. 2011. Keanekaragaman Plankton Dan Hubungannya Dengan Kualitas Perairan Muara Sungai Asahan. Medan: Universitas Sumatera Utara

Syahrul, Sri Suryani, dan Bahrul. 2016. Kajian Analisis Kualitas Air Danau UNHAS : Pembahasan Khusus Pada Proses Eutrofikasi. Makassar: Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hassanudin.

Rustandi. 2009. Eutrofikasi Nitrogen dan Fosfor serta Pengendaliannya dengan Perikanan di Waduk Sermo. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol. 16, No. 3: 176-186.

Tarigan, R.. 1999. Eutrofikasi dan Problematikanya. Jurnal Pendidikan Science (01). pp. 61-68.

Wardiatno, Yusril, Ario Damar, dan Bambang Sumartono. 2004.  A Short Review on the Recent Problem of Red Tide in Jakarta Bay: Effect of Red Tide on Fish and Human.