Eutrofikasi
1. Pengertian Eutrofikasi
Tanpa disadari,
badan-badan air di perairan umum disekitar kita terutama yang relatif tergenang
seperti situ, danau dan waduk bahkan pantai tertutup sedikit demi sedikit
berubah warna menjadi kehijauhijauan. Para pakar ekologi perairan sepakat bahwa
fenomena tersebut disebabkan oleh peningkatan kepadatan fitoplankton yang
diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi nutrien/hara terlarut dalam badan air,
yang dapat berasal dalam dan luar ekosistem (Garno, 2012).
Eutrofikasi adalah
masalah lingkungan hidup yang mengakibatkan kerusakan ekosistem perairan
khususnya di air tawar. Hal tersebut disebabkan oleh limbah fosfat (PO3),
yaitu limbah yang dihasilkan oleh limbah rumah tangga seperti detergen. Selain
itu limbah tersebut juga dapat dihasilkan dari limbah peternakan, limbah
industri, dan berasal dari pertanian. (Syahrul et al, 2016).
Sementara itu,
Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mendefinisikan
eutrofikasi sebagai “peningkatan kekayaan unsur hara pada air yang menyebabkan
rangsangan suatu susunan perubahan simptomatik yang meningkatkan produksi
ganggang dan makrofit, menurunnya kualitas perikanan, menurunnya kualitas air
serta perubahan simptomatik lainnya yang tidak dikehendaki serta mengganggu
penggunaan sumberdaya perairan.” (Connell dan Miller, 1995).
Menurut Tarigan (1999),
Eutrofikasi merupakan suatu fenomena pengayaan ekosistem akuatik dengan unsur
hara, terutama nitrogen dan fosfor, mengakibatkan meningkatnya produktivitas
primer. Proses pengayaan unsur hara dan peningkatan produktivitas primer ini
merupakan dua proses yang berbeda, teteapi biasanya merupakan prasyarat bagi
proses peningkatan produktivitas primer. Namun demikian, tidak berarti bahwa
pengayaan unsur hara pasti mengakibatkan meningkatnya produktivitas primer
secara dramatis hingga menimbulkan problema eutrofikasi. Hal ini tampaknya
berkaitan dengan intensitas masukan unsur hara dan proses internal yang terjadi
dalam ekosistem danau atau waduk.
2. Faktor Penyebab Eutrofikasi
2.1. Eutrofikasi Secara Alamiah
Dalam proses
eutrofikasi alamiah, detritus tanaman, garam-garaman, pasir, dan sebagainya
mengalir dari suatu daerah dan terakumulasi pada kolom perairan selama beberapa
waktu geologis. Hal tersebut menyebabkan pengingkatan kekayaan unsur hara,
sedimentasi, serta peningkatan biomassa. Umumnya, proses ini terjadi di
perairan yang menggenang (memiliki aliran air sedikit) seperti danau,
bendungan, laut tertutup, dan sebagainya. Namun, proses secara alamiah terjadi
dalam jangka waktu yang lama (Connell dan Miller, 1995). Menurut Garno (2012),
proses eutrofikasi secara alamiah juga berasal dari dalam ekosistem,
peningkatan nutrient berasal dari dekomposisi organik (detritus &
kotoran/ekskresi) dan regenerasi nutrient oleh zooplankton.
2.2. Eutrofikasi Kultural
Kegiatan manusia sangat
mempengaruhi peningkatan kekayaan unsur hara dan eutrofikasi. Pada
kenyataannya, dalam waktu 100 tahun terakhir banyak danau yang mengalami
peningkatan kekayaan unsur secara signifikan yang disebabkan oleh pencemaran.
Buangan seperti limbah rumah tangga, aliran dari bak penampungan kotoran,
beberapa limbah industri, aliran dari perkotaan, aliran dari pertanian dan
pengelolaan hutan, serta limbah hewan yang mengandung unsur hara tanaman
seringkali memuebabkan peningkatan kekayaan unsur hara pada perairan dan
mempercepat eutrofikasi (Connell dan Miller, 1995).
Nitrat dan fosfat
adalah dua nutrient penting yang telah mengalami peningkatan pada perairan
sejak pertengahan tahun 1960-an. Sumber dari kontaminasi nitrat itu sendiri
berasal dari pupuk, dan limbah pertambangan (leachate). Kandungan nitrat
pada pupuk nitrat mengalir ke perairan melalui tanah dan 40% nitrat yang ada di
perairan masuk ke lingkungan tersebut melalui cara yang telah dijelaskan di
atas. Sementara itu, kandungan nitrat pada pupuk fosfat yang ada di perairan
cederung lebih sedikit yaitu 20% sampai 25 %. Hal tersebut disebabkan karena partikel
fosfat cenderung lebih mudah terserap ke dalam tanah. Sumber fosfat yang lain
berasal dari detergen, sumber tersebut sudah menjadi perhatian di media
internasional dalam beberapa tahun terakhir (Hodgson dan Levi, 2000).
Fosfor bersama dengan
nitrogen sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem
air, seperti di ketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainya membutuhkan
nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi yang utama bagi pertumbuhannya.
Dengan demikian maka peningkatan unsur fosfor dalam air akan dapat meningkatkan
populasi alga secara massal yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem
air (Simanjuntak, 2011).
3. Proses Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan
proses alamiah dan dapat terjadi pada berbagai perairan, tetapi bila terjadi
kontaminasi bahan-bahan nitrat dan fosfat akibat aktivitas manusia dan
berlangsung terus menerus, maka proses eutrofikasi akan lebih meningkat.
Kejadian eutrofikasi seperti ini merupakan masalah yang terbanyak ditemukan
dalam danau dan waduk, terutama bila danau atau waduk tersebut berdekatan
dengan daerah urban atau daerah pertanian.
Dilihat dari bahan
pencemarannya eutrofikasi tergolong pencemaran kimiawi. Eutrofikasi adalah
pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan kedalam
ekosistem perairan. Eutrofikasi terjadi karena adanya kandungan bahan kimia
yaitu fosfat (PO3-). Suatu perairan disebut eutrofikasi jika konsentrasi total
fosfat ke dalam air berada pada kisaran 35-100µg/L. Eutrofikasi banyak terjadi
di perairan darat (danau, sungai, waduk, dll). Sebenarnya proses terjadinya
Eutrofikasi membutuhkan waktu yang sangat lama (ribuan tahun), namun akibat
perkembangan ilmu teknologi yang menyokong medernisasi dan tidak diiringi
dengan kearifan lingkungan maka hanya dalam hitungan puluhan atau beberapa
tahun saja sudah dapat terjadi Eutrofikasi. (Forsberg, 1998).
4. Dampak Eutrofikasi
N dan P menguntungkan
bagi pertumbuhan fitoplankton yang merupakan makanan ikan sehingga dapat
meningkatkan produksi ikan di waduk. Namun ketika konsentrasi unsur-unsur
tersebut tinggi, terj adi pertumbuhan fitoplankton yang berlebih (blooming)
atau eutrofikasi dan bisa terjadi pencemaran air waduk. Apabila sudah parah,
kualitas air akan menurun, air berubah menjadi keruh, oksigen terlarut rendah,
tirnbul gas-gas beracun dan bahan beracun (Rustadi, 2009).
Dalam jumlah yang
sangat banyak, perkembangan alga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam
air. Apabila sel-sel yang mati mengendap ke dasar dan vegetasi tumbuhan
membusuk, ianya dapat mengakibatkan pengurangan kadar oksigen di dasar
perairan. Di samping itu, eutrofikasi juga dapat menyebabkan perubahan pH yang
signifikan, pengurangan kadar oksigen terlarut terutama pada malam hari,
blooming alga biru-hijau, pengurangan jumlah spesies makrofit dan perubahan
warna air menjadi hijau atau kecoklatan (Othman dan Lim, 2006).
Efek dari eutrofikasi
moderat pada perairan yang miskin nutrien tidak bersifat negatif. Peningkatan
pertumbuhan alga dan berbagai vegetasi dapat menguntungkan bagi kehidupan fauna
akuatik. Salah satu contoh adalah produksi ikan meningkat. Jika eutrofikasi
terus berlanjut, pertumbuhan plankton menjadi sangat lebat, sehingga menutupi
perairan. Proses ini akan mengakibatkan gelap di bawah permukaan air, dan
kondisi ini berbahaya bagi vegetasi bentik. Problem yang serius akibat
eutrofikasi ditimbulkan oleh petumbuhan alga sel tunggal secara hebat, proses
dekomposisi dari sel yang mati akan mengurangi oksigen terlarut. Tanaman
akuatik (termasuk alga) akan mempengaruhi konsentrasi O2 dan pH perairan
disekitarnya. Pertumbuhan alga yang pesat, akan menyebabkan fluktuasi pH dan
oksigen terlarut menjadi besar pula. Hal ini akan menyebabkan terganggunya
proses metabolik dalam organisme, yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Di perairan yang sangat
kaya akan nutrien, produksi plankton dapat menjadi sangat berlebihan. Spesies
plankton tertentu muncul secara berkala dalam kuantitas yang sangat besar, yang
sering dikenal sebagai “algal bloom”. Beberapa alga tertentu dapat menimbulkan
bau dan rasa yang tidak sedap di perairan, dan mengakibatkan konsekuensi yang
sama jika perairan menerima material organik dari sumber-sumber pencemar, yaitu
sejumlah besar oksigen dalam air terkonsumsi ketika sejumlah besar plankton
yang mati berpindah ke dasar perairan dan terdegradasi. Defisiensi oksigen
dapat mengurangi kehiupan bentik dan ikan. Jika perairan bentik menjadi
de-oksigenasi, hidrogen sulfid (H2S) akan meracuni semua bentuk kehidupan di
perairan. Akhirnya eutrofikasi berat dapat menimbulkan pengurangan sejumlah
spesies tanaman dan hewan di perairan. (Forsberg, 1998).
Secara singkat dampak
eutrofiaksi di perairan dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Rusaknya habitat untuk kehidupan berbagai spesies
ikan dan invertebrata. Kerusakan habitat akan menyebabkan berkurangnya
biodiversitas di habitat akuatik dan spesies lain dalam rantai makanan.
2. Konsentrasi oksigen terlarut turun sehingga
beberapa spesies ikan dan kerang tidak toleran untuk hidup.
3. Rusaknya kualitas areal yang mempunyai nilai
konservasi/ cagar alam margasatwa.
4. Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa
toksik yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi
masyarakat dan merusak industri perikanan. Pada masa kini hubungan antara
pengkayaan nutrien dengan adanya insiden keracunan kerang di perairan
pantai/laut meningkat
5. Produksi vegetasi meningkat sehingga penggunaan air
untuk navigasi maupun rekreasi menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada
pariwisata dan industri pariwisata.
5. Organisme yang Memiliki Keterkaitan dengan
Eutrofikasi
5.1. Fitoplankton
Fitoplankton adalah
tumbuhan mikroskopik yang hidup melayang-layang dalam air. Fitoplankton terdiri
dari divisi chrysophyta (diatom), chlrorophyta dan cyanophyta. Pada umumnya
chlorophyte dan cyanophyta mudah ditemukan pada komunitas plankton perairan
tawar sedangkan chrysophyta dapat ditemukan diperairan tawar dan asin. Di
perairan umum, komunitas fitoplankton umumnya didominasi oleh jenis
fitoplankton yang berukuran lebih kecil dari 10 ?m. Keberadaan dan kelimpahan
suatu jenis fitoplankton di perairan umum sangat ditentukan oleh sifat fisik
dan kimia air, khususnya kandungan nutrien badan air tersebut. Nutrien
merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk pertumbuhannya.
Untuk pertumbuhannya, meskipun sebagian besar hanya dibutuhkan dalam jumlah
sangat sedikit (nutrien mikro) namun fitoplankton membutuhkan paling sedikit 19
macam nutrient. tertentu, peningkatan konsentrasi nutrient dalam badan air akan
meningkatkan produktivitas perairan, karena nutrien yang larut dalam badan air
langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya sehingga populasi
dan kelimpahannya meningkat. Peningkatan nutrien yang berkelanjutan dalam
konsentrasi yang tinggi pada akhirnya akan menyebabkan badan air menjadi sangat
subur atau eutrofik dan menimbulkan gangguan (dampak negatif) bagi badan air
tersebut yakni terjadinya (Garno, 2012).
5.2. Cyanobacteria
Cyanobacteria atau
biasa disebut dengan alga biru-hijau merupakan salah satu organize tertua yang
pernah hidup di bumi. Cyanobacteria memiliki persebaran yang luas , seperti di
perairan tawar, air laut, ekosistem terrestrial (darat), bahkan di tempat yang
ekstrim seperti di padang gurun, padang salju, tempat dengan salinitas tinggi, dan
sumber air panas (Kulasooriya, 2011).
Umumnya, cyanobacteria
merupakan organisme aerobic fotoautotrof. Hidup mereka selalu bergantung pada
karbon dioksida, air, substansi anorganik, dan cahaya (Mur et al., 1999).
Cyanobacteria ada yang hidup sebagai plankton dan ada pula yang hidup sebagai
bentos. Spesies-spesies yang bersifat planktonik umumnya merupakan
spesies-spesies yang mengakibatkan terjadinya ledakan populasi (blooming)
akibat eutrofikasi (Prihantini et al. 2008).
6. Fenomena yang Terkait dengan Eutrofikasi
6.1. Red Tide
Red tide adalah kondisi
dimana alga uniseluler mikroskopis mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dan
terkumpul akibat unsur nutrient yang melimpah di perairan tersebut sehinga
terlihat padat dan dapat terlihat di permukaan air. Sekitar 300 spesies
dilaporkan dapat membentuk fenomena ini. Red tide biasanya terlihat spektakuler
namun tidak berbahaya. Meskipun begitu, alga-alga yang terlibat dalam fenomena
ini memproduksi neurotoksin yang berdampak pada jaring-jaring makanan. Dimana
organisme yang mengonsumsi alga tersebut dapat mengalami kematian, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Jenis alga yang biasa ada dalam red tide adalah
alga dari jenis Gymnodinium breve yang memiliki pigmen warna merah, dan
kumpulan dari alga jenis tersebutlah yang merubah warna perairan menjadi merah.
(Wardiatno et al., 2004).
Red Tide berdampak
terhadap kematian berbagai jenis organisme seperti ikan budidaya dan shellfish
(kerang-kerangan). Kerang-kerangan yang dikonsumsi oleh manusia yang
beracun juga dapat menyebabkan kematian bagi manusia itu sendiri. Kemudian, Red
Tide juga berdampak pada kematian organisme lain seper ti mamalia laut, burung
laut, dan hewan laut lainnya (Anderson, 1995). Ledakan populasi dari
fitoplankton tersebut juga dapat menutupi perairan , sehingga selain
menyebabkan deplesi oksigen juga dapat menyebabkan gangguan fungsi mekanik
maupun kimiawi pada insang ikan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kematian
massal pada ikan (Mulyani et al. 2012).
Contoh nyata dari red tide pernah sendiri di pantai
barat Amerika Serikat, dimana alga jenis C. convolutus, dan C. concavivornis
yang menyebabkan sejumlah kematian pada ikan finfish sejak 1961 (Horner et al.,
1997).
6.2. Kematian Ikan Massal
Melimpahnya jumlah alga
yang terdapat pada perairan dapat menyebabkan perairan massal pada ikan. Hal
ini disebabkan karena alga yang sangat banyak menghalangi terlarutnya oksigen
ke dalam air sehingga menyebabkan kondisi perairan menjadi hipoksia atau
kekurangan oksigen (Leng, 2009). Contoh nyata dari kasus ini penah terjadi pada
tahun 1988 di pantai utara New Jersey, lebih tepatnya di Raritan Bay of the
Hudson. Diperkirakan sekitar satu juta ikan mengalami kematian. Hal tersebut
terjadi karena deoksigenasi perairan yang disebabkan oleh blooming algae yang
terjadi di tempat tersebut. Terjadinya eutrofikasi disebabkan oleh pembuangan
limbah secara tidak terkontrol yang pada limbah tersebut terdapat kandungan
fosfat (Lee et al. 2012).
7. Kasus Eutrofikasi di Indonesia
Danau Tondano merupakan
salah satu sumber daya penting bagi masyarakat Sulawesi Utara, terutama
masyarakat yang bermukim di Minahasa dan Kota Manado. Beberapa kebutuhan vital
masyarakat seperti air minum, air irigasi, pembangkit listrik dan lain sebagainya
dipenuhi melalui air dari danau Tondano. Sejak kurang lebih lima tahun terakhir
ini muncul masalah yang disebabkan oleh peledakan tumbuhan akuatik, di samping
masalah pendangkalan dan penyusutan air danau. Peledakan tumbuhan akuatik
merupakan salah satu indikator bahwa telah terjadi pengayaan unsur hara atau
eutrofikasi di Danau Tondano. Penebangan hutan, kegiatan pertanian serta
pemukiman penduduk hingga ke tepi danau menyebabkan lahan menjadi terbuka.
Partikel tanah dan sisa-sisa pupuk dengan mudah dibawa oleh air hujan masuk ke
dalam danau. Selain itu kebiasaan penduduk yang menjadikan badan air sebagai
tempat membuang sampah, juga makin mempercepat pengayaan unsur hara. Belakangan
ini usaha pemeliharaan ikan di dana yang berbentuk jaring apung. Sisa-sisa
pakan ikan menambah bahan organik dalam badan air dan semua itu. Sebagian besar
tumbuhan akuatik di danau Tondano terdiri atas E. crassipes dan I. aquatic
(Nebath, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, David M., 1995. Toxic Red Tides and Harmful
Algal Blooms: A Practical Challenge in Coastal Oceanography. U.S National
Report to International Union of Geodesy and Geophysics 1991-1994
Connell, Des W. dan Gregory J, Miller. 1995. Kimia dan
Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: UI-Press.
Forsberg. 1998. Which Policies Can Stop Large Scale
Eutrophication, Water Science and Technology, Vol 37, Issue 3
Hodgson, Ernest dan Patricia E, Levi. 2000. A Textbook
of Modern Toxicology. New York: The McGraw-Hill Companies
Horner, Rita A., David L. Garrison, and Gerrald
Plumey. 1997. Harmful Algal Blooms and Red Tide Problems in the U.S West Coast.
Limnology and Oceanography Vol. 42, No. 5, July 1997, pp. 1076-1088
Garno, Yudhi Soetrisno. 2012. Dampak Eutrofikasi
Terhadap Struktur Komunitas dan Evaluasi Metode Penentuan Kelimpahan
Fitoplankton. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 13, No. 1. Januari 2012. Hlm.
67-74.
Kulasooriya, A.M. 2011. Cyanobacteria: Pioneers of
Planet Earth. Ceylon Journal of Science (Bio. Sci.) Vol. 40, No. 2, 2011.
Lee, G. Fred dan Anne Jones. 2012. Effects of Eutrophication
on Fisheries. Landfills and Water Quality Management.
Leng, Rachel. 2009. The Impacts of Cultural
Eutrophication on Lakes: A Review of Damages and Nutrient Control Measures.
Durham: Duke University
Mulyani, Riani Widiarti, dan Wisnu Wardhana. 2012.
Sebaran Spesies Penyebab Harmful Algal Bloom di Lokasi Budidaya Kerang Hijau
(Perna viridis) di Kamal Mutiara, Jakarta Utara. Jurnal Akuatika Vol. 3, No.
1/Maret. 2012).
Mur, Luuc R., Olav M, Skulberg, dan Hans Utkilen.
1999. Cyanobacteria in the Environment. World Health Organization
Nebath, J. 2008. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia Jilid 11 Nomor 1 Hal. 67-71.
Othman, M. Shuhaimi dan E.C. Lim. 2006. Keadaan
Eutrofikasi di Tasik Chini, Pahang. Sains Malaysiana Vol. 32, No. 2, 2006:
29-34.
Prihantini, Nining Betawati, Wisnu Wardhana, Dian
Hendrayanti, Arya Widyawan, Yuni Ariyani dan Ronny Riyanto. 2008. Biodiverstias
Cyanobacteria dari Beberapa Situ/Danau di Kawasan Jakarta –Depok—Bogor,
Indonesia. Makara, Sains, Volume 12, No. 4, April 2008:44-54
Simanjuntak, F. Kastro. 2011. Keanekaragaman Plankton
Dan Hubungannya Dengan Kualitas Perairan Muara Sungai Asahan. Medan:
Universitas Sumatera Utara
Syahrul, Sri Suryani, dan Bahrul. 2016. Kajian
Analisis Kualitas Air Danau UNHAS : Pembahasan Khusus Pada Proses Eutrofikasi.
Makassar: Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Hassanudin.
Rustandi. 2009. Eutrofikasi Nitrogen dan Fosfor serta
Pengendaliannya dengan Perikanan di Waduk Sermo. Jurnal Manusia dan Lingkungan
Vol. 16, No. 3: 176-186.
Tarigan, R.. 1999. Eutrofikasi dan Problematikanya.
Jurnal Pendidikan Science (01). pp. 61-68.
Wardiatno, Yusril, Ario Damar, dan Bambang Sumartono.
2004. A Short Review on the Recent Problem of Red Tide in Jakarta Bay:
Effect of Red Tide on Fish and Human.
0 komentar:
Posting Komentar